Hakikat Anak Didik Dalam Pembelajaran Matematika SD



Kita mengetahui bahwa dalam perkembangannya seorang anak berbeda dengan orang dewasa. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas baik itu dalam bentuk fisik maupun dari cara berpikir, bertindak, kebiasaan, hobi, kerja, keinginan, tanggung jawab dan sebagainya. Tetapi banyak orang dewasa bahkan pendidik/ guru yang masih beranggapan bahwa seorang siswa atau
anak dapat berpikir dan bertindak seperti orang dewasa.

Anak Sebagai Suatu Individu

Pada saat ini masih ada guru yang memberikan konsep-konsep matematika sesuai jalan pikirannya, tanpa memperhatikan bahwa jalan pikiran siswa berbeda dengan jalan pikiran orang dewasa dalam memahami konsep-konsep matematika yang abstrak. Sesuatu yang dianggap mudah menurut logika orang dewasa dapat dianggap sulit dimengerti oleh seorang anak. Anak tidak berpikir dan bertindak sama seperti orang dewasa. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika di SD, konsep matematika yang abstrak yang dianggap yang dianggap mudah dan sederhana menurut kita yang cara berpikirnya sudah formal, dapat menjadi hal yang sulit dimengerti oleh anak.

Selain itu setiap anak merupakan individu yang berbeda. Perbedaan pada tiap individu dapat dilihat dari minat, bakat, kemampuan kepribadian, pengalaman lingkungan,dll. Karena itu seorang guru dalam proses pembelajaran matematika hendaknya memperhatikan perbedaan-perbedaan karakterisitik anak didik tersebut.

Anak Usia SD dalam Pembelajaran Matematika di SD

Anak usia SD adalah anak yang berada pada usia sekitar 7 sampai 12 tahun. Menurut Piaget anak usia sekitar ini masih berpikir pada tahap operasi konkrit artinya siswa siswa SD belum berpikir formal. Ciri-ciri anak-anak pada tahap ini dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit, belum dapat berpikir deduktif, berpikir secara transitif.
Contoh :
$2 + 2 = 4,$
$4 + 2 = 6,$
$6 + 2 = 8,$
$10 + 2 = 12.$
Proses ini sudah dapat dipahami oleh siswa sebagaimana kita ketahui, matematika adalah ilmu deduktif, formal, hierarki dan
menggunakan bahasa simbol yang memiliki arti yang padat. Karena adanya perbedaan karakteristik antara matematika dan anak usia SD, maka matematika akan sulit dipahami oleh anak SD jika diajarkan tanpa memperhatikan tahap berpkir anak SD. Seorang guru hendaknya mempunyai kemampuan untuk menghubungkan antara dunia anak yang belum dapat berpikir secara deduktif agar dapat mengerti matematika yang bersifat deduktif.

Matematika yang merupakan ilmu dengan objek abstrak dan dengan pengembangan melalui penalaran deduktif telah mampu mengembangkan model-model yang merupakan contoh dari sistim itu yang pada akhirnya telah digunakan untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan
sehari-hari. Matematika juga dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi pola pikir yang matematiks, sistimatis, logis, kritis dan cermat. Tetapi sistim matematika ini tidak sejalan dengan tahap perkembangan mental anak, sehingga yang dianggap logis dan jelas oleh orang dewasa pada matematika, masih merupakan hal yang tidak masuk akal dan menyulitkan bagi anak.

Faktor-faktor lain yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran matematika, selain bahwa tahap perkembangan berpikir siswa SD belum formal atau masih konkrit adalah adanya keanekaragaman intelegensi siswa SD serta jumlah siswa SD yang cukup banyak dibandingkan guru yang mengajar matematika.

Matematika yang dipelajari oleh siswa SD dapat digunakan oleh siswa SD untuk kepentingan hidupnya sehari-hari dalam kepentingan lingkungannya, untuk membentuk pola pikir yang logis, sistimatis, kritis dan cermat dan akhirnya dapat digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain.

Meningkatkan Minat Belajar Matematika Pada Anak

Minat belajar merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan proses pembelajaran matematika. Minat yang timbul dari kebutuhan anak merupakan faktor penting bagi anak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu minat belajar anak harus diperhatikan dengan cermat. Dengan adanya minat belajar pada anak dapat memudahkan membimbing dan mengarahkan anak untuk belajar matematika. Dengan demikian anak tidak perlu lagi mendapat dorongan dari luar jika belajar yang dilakukannya cukup menarik minatnya.

Apabila anak didik menunjukkan minat belajar yang rendah maka tugas guru dan orang tua untuk meningkatkan minat tersebut. Jika guru mengabaikan minat belajar anak maka akan mengakibatkan ketidak berhasilan dalam proses pembelajaran matematika.

Guru sebagai tenaga pengajar di kelas hendaknya berusaha sedapat mungkin untuk membangkitkan minat belajar pada anak didiknya dengan berbagai cara, misalnya dengan memperkenalkan kepada anak berbagai kegiatan belajar, seperti bermain sambil belajar
matematika, menggunakan alat peraga yang menarik atau memanipulasi alat peraga, menggunakan bermacam-macam metode pembelajaran pada saaat mengajar matematika, mengaitkan pembelajaran matematika dengan dunia anak.
Contoh :
Alat peraga dapat disesuaikan dengan benda-benda permainan anak, misalnya kelereng, bola dan sebagainya.

Anak yang mencapai suatu prestasi belajar matematika, sebenarnya merupakan hasil kecerdasan dan minat terhadap matematika. Jadi seorang anak tidak mungkin sukses dalam belajar matematikatnpa adanya minat terhadap matematika. Minat dapat timbul pada
seseorang jika menarik perhatian terhadap suatu objek. Perhatian ini akan terjadi dengan sendirinya atau mungkin timbul disebabkan adanya pengaruh dari luar.

Beberapa hal yang harus dilakukan guru dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar matematika
1. Menyesuaikan bahan pelajaran yang diajarkan dengan dunia anak, misalnya dengan memanfaatkan lingkungan.
Contoh :
♦ Mengajar bangun ruang kubus dan balok guru dapat menggunakan ruang kelas dan kotak berbentuk kubus sebagai alat peraga.
♦ Mengajar kerucut dapat dikaitkan dengan model topi ulang tahun atau tempat es krim.

2. Pembelajaran dapat dilakukan dengan cara dari mudah ke yang sukar atau dari konkret ke abstrak.
Contoh :
♦ Dari mudah ke yang sukar
Lingkaran diajarkan pada tahap awal kemudian dilanjutkan dengan jari-jari dan garis tengah, keliling lingkaran, luas lingkaran dan penggunaan lingkaran pada bangun ruang seperti kerucut, tabung dan bola.
♦ Dari konkret ke abstrak
Mengajar penjumlahan bilangan cacah, misalnya 2 + 3 dimulai dengan memberikan model seperti 2 kelereng ditambah 3 kelereng kemudian digabung, sehingga mengahasilkan 5 kelereng. Kemudian dilanjutkan dengan tahap semi konkret dengan gambar 2 kelereng dan 3 kelereng seperti berikut:
◯ ◯ + ◯ ◯ ◯ = ◯ ◯ ◯ ◯ ◯
Berikutnya dilanjutkan dengan tahap abstrak dalam bentuk simbol : 2 + 3 = 5

3. Penggunaan alat-alat peraga.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara :
♦ Langsung yaitu dengan memperlihatkan bendanya sendiri, mengadakan percobaanpercobaan
yang dapat diamati anak didik.
Misalnya : Guru membawa alat-alat atau benda-benda peraga ke dalam kelas atau membawa anak didik ke laboratorium, kebun binatang dan sebagainya.
♦ Tidak langsung yaitu dengan menunjukkan tiruan misalnya model, gambar-gambar, photo-photo dan sebagainya.

4. Pembelajaran hendaknya membangkitkan aktivitas anak.
Hendaknya anak didik dilatih bekerja sendiri atau turut aktif selama pembelajaran berlangsung, msialnya :
♦ Mengadakan berbagai percobaan dengan membuat kesimpulan, keterangan, memberikan pendapat dan sebagainya
♦ Memberikan tugas-tugas untuk memecahkan masalah, menganalisis, mengambil keputusan dan sebagainya.
♦ Mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membimbing ke arah diskusi.

5. Semua kegiatan belajar harus kontras.
Hal-hal yang tidak sama bahkan menimbulkan kontras akan dapat menarik perhatian anak, sehingga dapat menimbulkan minat untuk mengetahui lebih lanjut.
Contoh : segitiga dikontraskan dengan bangun datar yang lain seperti persegi panjang, jajar genjang, layanglayang dan sebagainya.

Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anak didik secara aktif dan sadar. Hal ini berarti bahwa aktivitas berpusat pada anak didik sedangkan guru lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator (pembimbing) terjadinya proses belajar. Oleh karena itu untuk mengaktifkan siswa dalam belajar maka seorang guru matematika dapat membimbing anak.

Upaya Peningkatan Prestasi Anak Dalam Pembelajaran Matematika

Untuk dapat meningkatkan prestasi anak dalam pembelajaran matematika, salah satu faktor penunjang adalah adanya proses belajar yang efektif. Kedewasaan manusia yang hidup dan berkembang adalah manusia yang selalu berubah dan perubahan itu merupakan hasil belajar.

Perubahan yang dialami seseorang karena hasil belajar dalam matematika menunjukkan pada suatu proses kedewasaan yang dialami oleh anak tersebut. Misalnya dari tidak tahu berhitung, menjadi tahu berhitung. Dari tidak tahu bermacam-macam model geometri ruang, menjadi tahu geometri ruang. Belajar matematika adalah proses yang aktif, semakin bertambah aktif anak dalam belajar matematika semakin ingat anak akan pelajaran matematika itu.

Merencanakan dan menciptakan suatu “situasi” belajar matematika yang baik di sekolah maupun di rumah, memerlukan beberapa pengertian antara lain tentang proses belajar matematika yaitu memperbesar kesanggupan untuk situasi belajar matematika. Makin baik cara belajar matematika, makin baik pula situasi belajar matematika, makin lancar dan efektif proses belajar matematika itu berlangsung. Proses belajar matematika dapat berlangsung dengan efektif jika orang tua bersama dengan guru mengetahui tugas apa yang akan dilaksanakan mengenai proses belajar matematika.

Sifat-sifat proses belajar matematika adalah :
1. Belajar matematika merupakan suatu interaksi antara anak dengan lingkungan. Dari lingkungannya si anak memilih apa yang ia butuhkan dan apa yang dapat ia pergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Menyediakan suatu lingkungan belajar matematika yang kaya dengan stimulus (rangsanganrangsangan) berarti membantu anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

2. Belajar berarti berbuat.
Belajar matematika adalah suatu kegiatan, dengan bermain, berbuat, bekerja dengan alat-alat. Dengan berbuat anak menghayati sesuatu dengan seluruh indera dan jiwanya. Konsep-konsep matematika menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh anak sehingga konsep itu benar-benar tahan lama di dalam ingatan siswa.

3. Belajar matematika berarti mengalami.
Mengalami berarti menghayati sesuatu aktual pengahayatan. Dengan mengalami berulang-ulang perbuatan maka belajar matematika akan menjadi efektif, teknik akan menjadi lancar, konsep makin lama makin jelas dan generalisasi makin mudah disimpulkan. Belajar
matematika adalah suatu aktivitas yang bertujuan supaya tujuan matematika yang dirumuskan tercapai, maka pembelajaran harus menimbulkan aktivitas pada anak didik sebab dengan aktivitas dapat diperoleh pengalaman baru yang kelak merupakan. Dengan meningkatnya aktivitas anak maka semakin meningkat pula pengalaman anak.

4. Belajar matematika memerlukan motivasi.
Anak didik adalah manusia yang membutuhkan bantuan dari sekitarnya sehingga dapat berkembang secara harmonis. Anak didik membutuhkan kemampuan untuk berkembang, misalnya kebutuhan untuk mengetahui dan menyelidiki, memperbaiki prestasi dan
mendapatkan kepuasan atas hasil pekerjaannya. Dengan memenuhi kebutuhan anak akan merupakan motivasi untuk mendorong atau melakukan suatu kegiatan.

Motivasi itu dapat dirangsang melalui :
♦ Merencanakan kegiatan belajar matematika dengan memperhitungkan kebutuhan minat dan kesanggupan anak didik.
♦ Menggunakan perencanaan pembelajaran matematika bersama dengan anak didik.

5. Belajar matematika memerlukan kesiapan anak didik.
Kesiapan artinya bahwa anak sudah matang dan sudah menguasai apa yang diperlukan. Anak yang belum siap tidak boleh dipaksa untuk belajar matematika karena akan membuat anak itu malas belajar dan merasa tidak mampu belajar.

6. Belajar matematika harus menggunakan daya pikir.
Berpikir konkret pada prinsipnya hanya pada jenjang SD dan setelah itu akan beralih ke taraf berpikir abstrak. Hal ini disebabkan matematika merupakan ilmu yang abstrak.
Contoh :
Penjumlahan 5 + 3 = 8 dimulai dengan menggabungkan 5 lidi dengan 3 lidi.
Selanjutnya pada kelas yang lebih tinggi, 5 + 3 langsung dijawab dengan 8.
Untuk membantu anak berpikir abstrak, harus banyak diberikan pengalaman-pengalaman dengan berbagai alat peraga.
Pengalaman-pengalaman berpikir akan memberikan kesanggupan kepada anak untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari.

7. Belajar matematika melalui latihan (drill).
Untuk memperoleh keterampilan dalam matematika diperoleh latihan berkali-kali atau terus menerus.
Contoh :
Untuk terampil menjumlah, mengurang, mengali, dan membagi, maka anak harus secara teratur melakukan latihan baik lisan maupun tertulis. Dengan mengetahui komponen-komponen proses belajar mengajar, maka orang tua dan guru akan lebih mudah dalam meningkatkan prestasi belajar anak dalam matematika.

=============
Hakikat Matematika dan Pembelajaran Matematika SD
  • Pendahuluan
  • Kegiatan Belajar 1
    Hakikat Matematika, yang mencakup pengertian matematika, beberapa pendapat dari para ahli mengenai matematika, matematika adalah ilmu deduktif, ilmu terstruktur, ilmu tentang pola dan hubungan, matematika adalah bahasa simbol dan kegunaan matematika.
  • Kegiatan Belajar 2
    Hakikat Anak Didik yang mencakup anak sebagai suatu individu dan anak usia SD dalam pembelajaran matematika di SD, meningkatkan minat belajar matematika pada anak dan upaya peningkatan prestasi anak dalam pembelajaran matematika.
  • Kegiatan Belajar 3
    Pembelajaran Matematika di SD yang mencakup ciri-ciri pembelajaran matematika di SD, yaitu pembelajaran matematika menggunakan pendekatan spiral, pembelajaran matematika bertahap, pembelajaran matematika menggunakan pendekatan indukktif, pembelajaran matematika kebenaran konsisten, dan pembelajaran matematika hendaknya bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
  • Andi Hakim, N. (1980). Landasan Matematika, Jakarta : Bharata Aksara.
  • Erman, S dan Winataputra, U.S. (1993). Strategi Belajar Mengajar Matematika, Jakarta : Universitas Terbuka.
  • Herman, H. (1990). Strategi Belajar Matematika, Malang : IKIP Malang.
  • Lisnawaty, S. (1992). Metode Mengajar Matematika 1, Jakarta : PT. Rineka Cipta
  • Ruseffendi, E.T. (1988). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini Untuk Guru dan SPG, Bandung : Tarsito.
  • Ruseffendi, E.T. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA, Bandung : Tarsito.
  • Ruseffendi, E.T, dkk. (1992), Pendidikan Matematika 3, Jakarta : Depdikbud.
  • Wragg, E.C. (1997). Keterampilan Mengajar Di Sekolah Dasar, Jakarta : Gramedia

Artikel ini sebelumnya di Posting oleh http://www.defantri.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel